Sabtu, 21
September 2013
Hari ini aku mendapat pelajaran
berharga dari sebuah kecelakaan kecil yang membawa aku ke dalam pengertian yang
baru akan hubungan pribadiku dengan Yesus Kristus. Jam menunjukkan pukul 22:40
saat aku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang makan. Aku waktu itu
berniat mengambil air minum sebelum pergi tidur. Aku mengambil gelas kemudian
mengangkat ceret untuk menuangkan air ke gelas. Ternyata ceretnya sudah kosong
jadi aku ke ruang nonton untuk mengambil air yang ada dalan gallon aqua, tempat
di mana mama sering menaruhnya.
Aku kemudian membuka tutupnya dan
menuangkan air ke dalam gelas. Aku tidak sempat memperhatikan bahwa gallon aqua
tersebut ternyata begitu dekat dengan pinggiran meja. Jadi saat gallon dalam
keadaan miring, gallon tersebut meluncur dengan cepat ke bawah karena kehilangan
keseimbangannya. Tersentak dengan situasi tersebut, secara refleks aku memegang
leher galonnya dan menarik sekuat tenaga supaya gallon tidak jatuh ke lantai
dan pecah.
Tetapi yang terjadi selanjutnya
justru tidak saya perhitungkan. Lantai papan yang mulai rapuh menjadi bengkok
akibat menahan berat badanku dan memang saat itu aku sedang memusatkan seluruh
keseimbanganku pada kedua kakiku. Papan semakin bengkok sedangkan gallon air
itu terus meluncur ke bawah sehingga pikiranku menjadi terpecah antara menahan
berat gallon atau menyelamatkan diriku dari cedera. Akupun memutuskan untuk
menyelamatkan diri dari cedera dan sedikit meregangkan peganganku pada leher
gallon tersebut.
Setelah gallon air mendarat di
lantai, aku mulai merasakan sakit di ketiak tangan kanan akibat menahan berat
gallon tersebut. Beberapa saat pikiranku mulai tenang dan melihat kembali
keadaan itu dalam gambaran mentalku. Aku mulai merasa heran dengan kejadian
tersebut dan mulai muncul pertanyaan dalam pikiranku, “Mengapa mama tidak
menolongku pada saat itu? Dia tepat berada di sampingku. Pada saat aku mulai
kehilangan keseimbangan dia dapat memelukku supaya aku tidak jatuh. Tapi itu
tidak dilakukannya.”
Aku mengurungkan niat untuk
menanyakannya kepada mama. Tepat di saat aku mengurungkan niat untuk menanyakan
mengapa dia tidak menolongku, muncul suatu jawaban yang menggambarkan dengan
jelas keadaan tersebut. Adalah lebih baik dia tidak menolongku, dengan demikian tidak ada yang terluka. Tetapi jika
dia berusaha menolongku, kami berdua akan terluka dengan cukup parah. Mengapa?
Lantai papan yang menjadi tumpuan
kaki kami mulai rapuh dan lapuk sehingga tidak cukup untuk menahan berat
badanku dan berat gallon air itu. Jika saat itu mama berusaha menolongku,
justru yang akan terjadi adalah lantai papan itu akan segera ambruk karena
beban yang terlalu berat baginya dan kemungkinan terburuknya yaitu kami berdua
akan terperosok dalam lantai itu sehingga menyebabkan kami terluka, mungkin
patah tulang kaki karena jarak lantai papan dan tanah kira-kira 45 centimeter.
Kecelakaan kecil ini mengajarkan aku
bahwa tindakan “tidak peduli” dari
seseorang tidak selalu menjelaskan bahwa ia tidak memperhatikan kita atau tidak
mengasihi kita sebagaimana yang kita harapkan. Sebaliknya, oleh karena ia
begitu mengasihi kita dan ia berada tepat dalam situasi yang memungkinkannya
melihat situasi kehidupan
kita secara lebih luas, ia memilih untuk “membiarkan” kita merasakan sakitnya
jatuh. Bukan untuk menyakiti kita tetapi untuk menolongkan kita agar tetap
hidup.
Bukankah hal seperti ini sering
terjadi dalam kehidupan kita bersama dengan Allah? Kita mengalami hal-hal buruk
yang menyakiti hati kita dan kita mulai mempertanyakan Allah dengan
tindakan-Nya? Kita menolong orang yang sedang kesulitan dan orang itu tidak
berterima kasih dan malah memfitnah kita? Anda sudah melakukan hal-hal benar
dan yang terjadi pada Anda hanyalah penderitaan belaka? Hal-hal ini dapat
membuat kita bertanya, “Mengapa Engkau membiarkan hal ini terjadi, Ya Tuhan?”
“Apa yang sedang Engkau perbuat saat aku menderita?” “Di manakah Allah saat aku
membutuhkan pertolongan-Nya?”
Pertanyaan-pertanyaan kita tersebut
justru menunjukkan kepada kita betapa
terbatasnya kita dalam melihat gambaran besar situasi kehidupan kita. Kita
hanya melihat situasi kecil yang sedang kita alami tapi tidak melihat dari sudut pandang Allah yang tentunya lebih
mengetahui keadaan itu secara menyeluruh. Allah seringkali membiarkan atau
mengizinkan kita mengalami hal-hal buruk bukan supaya kita menderita atau
secara pribadi Ia senang melihat kita kesusahan. Tetapi oleh karena kasih dan kebijaksanaan-Nya yang besar, Ia membiarkan
hal-hal tersebut terjadi dalam kehidupan kita supaya untuk menolong kita dari
kecelakaan, menyelamatkan kita dari kematian dan bencana, dan
terlebih untuk menunjukkan kepada kita bahwa pijakan yang kita pakai tidak
sekuat yang kita pikirkan.
Pijakan di mana kaki kita bertumpu
bisa dalam berbagai bentuk. Mungkin itu dapat berupa kekayaan, kepandaian,
status sosial, atau harga
diri dan masih banyak lagi bentuknya. Allah tahu itu begitu rapuh sehingga
tidak dapat menopang kehidupan kita.
Seperti yang ibuku lakukan, Allah membiarkan kita jatuh supaya kita tidak
mengalami luka yang lebih parah. Tindakan “Pembiaran” dari Allah adalah bentuk
pertolongan-Nya bagi kita karena Ia tahu saat seperti itu adalah yang paling
tepat untuk bertindak demikan.
Saat mengetahui bahwa mama tidak
menolongku adalah tindakan yang terbaik yang dapat ia lakukan supaya aku tidak
terluka, pertanyaan mengapa ia tidak menolongku menjadi tidak berarti lagi
tetapi justru membuat aku lebih mengerti, mengasihi, dan mengagumi pribadinya
karena dapat mengambil keputusan yang tepat saat sulit sekalipun. Dan apakah
Anda berpikir bahwa Allah yang mahatahu, mahakuat, dan mahahadir tidak dapat
melakukan hal yang sama bagi anak-anak-Nya? Tidak saudaraku, Ia bahkan dapat melakukan hal yang jauh
lebih baik dari itu.
Demikian halnya jika kita menyadari
bahwa kita terbatas untuk melihat seluruh jalan kehidupan kita dan hanya Allah
yang berada tepat dalam kondisi yang bisa melihat segalanya dalam perspektif
yang lebih luas, kita dapat
sepenuhnya mempercayai Allah dalam setiap tindakan-Nya bagi kita meski dalam
hal paling sulit sekalipun. Karena itu Allah berkata,
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku,
demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah
tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Yesaya 55:
8-9, TB.
Dan lagi Allah berjanji,
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai
kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan
rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Yeremia 29:11, TB.
Rencana Allah semata-mata adalah damai sejahtera bagi kita. Rencana Allah
semata-mata untuk hari depan kita yang penuh dengan pengharapan. Rancangan
Allah semata-mata untuk menyelamatkan kita dari kecelakaan. Masihkah kita ragu
dengan apa yang dilakukan-Nya
bagi kita?
Saudaraku, marilah! Aku, kamu, dan kita semua jika dalam menghadapi
masa-masa sulit, janganlah terburu-buru bertanya kepada Allah, “Mengapa semua
ini terjadi padaku?” Tetapi marilah kita bertanya, “Apa yang Engkau ajarkan
dari peristiwa ini? Biarlah itu membawaku semakin dekat kepada-Mu!” Jika masih
terasa sulit untuk memahami maksud Allah, biarlah hatimu mengucap syukur
terlebih dahulu, “Ya Allahku, terima kasih untuk kebaikan-Mu.Di dalam nama Yesus
Kristus juruselamatku!” Dan biarkanlah perspektif Allah memenuhi pengertianmu dalam waktu-Nya yang selalu
tepat. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar