Rabu, 02 Oktober 2013

Di manakah Allah saat aku membutuhkan pertolongan-Nya?


Sabtu, 21 September 2013
            Hari ini aku mendapat pelajaran berharga dari sebuah kecelakaan kecil yang membawa aku ke dalam pengertian yang baru akan hubungan pribadiku dengan Yesus Kristus. Jam menunjukkan pukul 22:40 saat aku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang makan. Aku waktu itu berniat mengambil air minum sebelum  pergi tidur. Aku mengambil gelas kemudian mengangkat ceret untuk menuangkan air ke gelas. Ternyata ceretnya sudah kosong jadi aku ke ruang nonton untuk mengambil air yang ada dalan gallon aqua, tempat di mana mama sering menaruhnya.
            Aku kemudian membuka tutupnya dan menuangkan air ke dalam gelas. Aku tidak sempat memperhatikan bahwa gallon aqua tersebut ternyata begitu dekat dengan pinggiran meja. Jadi saat gallon dalam keadaan miring, gallon tersebut meluncur dengan cepat ke bawah karena kehilangan keseimbangannya. Tersentak dengan situasi tersebut, secara refleks aku memegang leher galonnya dan menarik sekuat tenaga supaya gallon tidak jatuh ke lantai dan pecah.
            Tetapi yang terjadi selanjutnya justru tidak saya perhitungkan. Lantai papan yang mulai rapuh menjadi bengkok akibat menahan berat badanku dan memang saat itu aku sedang memusatkan seluruh keseimbanganku pada kedua kakiku. Papan semakin bengkok sedangkan gallon air itu terus meluncur ke bawah sehingga pikiranku menjadi terpecah antara menahan berat gallon atau menyelamatkan diriku dari cedera. Akupun memutuskan untuk menyelamatkan diri dari cedera dan sedikit meregangkan peganganku pada leher gallon tersebut.
            Setelah gallon air mendarat di lantai, aku mulai merasakan sakit di ketiak tangan kanan akibat menahan berat gallon tersebut. Beberapa saat pikiranku mulai tenang dan melihat kembali keadaan itu dalam gambaran mentalku. Aku mulai merasa heran dengan kejadian tersebut dan mulai muncul pertanyaan dalam pikiranku, “Mengapa mama tidak menolongku pada saat itu? Dia tepat berada di sampingku. Pada saat aku mulai kehilangan keseimbangan dia dapat memelukku supaya aku tidak jatuh. Tapi itu tidak dilakukannya.”
            Aku mengurungkan niat untuk menanyakannya kepada mama. Tepat di saat aku mengurungkan niat untuk menanyakan mengapa dia tidak menolongku, muncul suatu jawaban yang menggambarkan dengan jelas keadaan tersebut. Adalah lebih baik dia tidak menolongku, dengan demikian tidak ada yang terluka. Tetapi jika dia berusaha menolongku, kami berdua akan terluka dengan cukup parah. Mengapa?
            Lantai papan yang menjadi tumpuan kaki kami mulai rapuh dan lapuk sehingga tidak cukup untuk menahan berat badanku dan berat gallon air itu. Jika saat itu mama berusaha menolongku, justru yang akan terjadi adalah lantai papan itu akan segera ambruk karena beban yang terlalu berat baginya dan kemungkinan terburuknya yaitu kami berdua akan terperosok dalam lantai itu sehingga menyebabkan kami terluka, mungkin patah tulang kaki karena jarak lantai papan dan tanah kira-kira 45 centimeter.
            Kecelakaan kecil ini mengajarkan aku bahwa tindakan “tidak peduli” dari seseorang tidak selalu menjelaskan bahwa ia tidak memperhatikan kita atau tidak mengasihi kita sebagaimana yang kita harapkan. Sebaliknya, oleh karena ia begitu mengasihi kita dan ia berada tepat dalam situasi yang memungkinkannya melihat situasi kehidupan kita secara lebih luas, ia memilih untuk “membiarkan” kita merasakan sakitnya jatuh. Bukan untuk menyakiti kita tetapi untuk menolongkan kita agar tetap hidup.
            Bukankah hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita bersama dengan Allah? Kita mengalami hal-hal buruk yang menyakiti hati kita dan kita mulai mempertanyakan Allah dengan tindakan-Nya? Kita menolong orang yang sedang kesulitan dan orang itu tidak berterima kasih dan malah memfitnah kita? Anda sudah melakukan hal-hal benar dan yang terjadi pada Anda hanyalah penderitaan belaka? Hal-hal ini dapat membuat kita bertanya, “Mengapa Engkau membiarkan hal ini terjadi, Ya Tuhan?” “Apa yang sedang Engkau perbuat saat aku menderita?” “Di manakah Allah saat aku membutuhkan pertolongan-Nya?”
            Pertanyaan-pertanyaan kita tersebut justru menunjukkan kepada kita betapa terbatasnya kita dalam melihat gambaran besar situasi kehidupan kita. Kita hanya melihat situasi kecil yang sedang kita alami tapi tidak melihat dari sudut pandang Allah yang tentunya lebih mengetahui keadaan itu secara menyeluruh. Allah seringkali membiarkan atau mengizinkan kita mengalami hal-hal buruk bukan supaya kita menderita atau secara pribadi Ia senang melihat kita kesusahan. Tetapi oleh karena kasih dan kebijaksanaan-Nya yang besar, Ia membiarkan hal-hal tersebut terjadi dalam kehidupan kita supaya untuk menolong kita dari kecelakaan, menyelamatkan kita dari kematian dan bencana, dan terlebih untuk menunjukkan kepada kita bahwa pijakan yang kita pakai tidak sekuat yang kita pikirkan.
            Pijakan di mana kaki kita bertumpu bisa dalam berbagai bentuk. Mungkin itu dapat berupa kekayaan, kepandaian, status sosial, atau harga diri dan masih banyak lagi bentuknya. Allah tahu itu begitu rapuh sehingga tidak dapat  menopang kehidupan kita. Seperti yang ibuku lakukan, Allah membiarkan kita jatuh supaya kita tidak mengalami luka yang lebih parah. Tindakan “Pembiaran” dari Allah adalah bentuk pertolongan-Nya bagi kita karena Ia tahu saat seperti itu adalah yang paling tepat untuk bertindak demikan.
            Saat mengetahui bahwa mama tidak menolongku adalah tindakan yang terbaik yang dapat ia lakukan supaya aku tidak terluka, pertanyaan mengapa ia tidak menolongku menjadi tidak berarti lagi tetapi justru membuat aku lebih mengerti, mengasihi, dan mengagumi pribadinya karena dapat mengambil keputusan yang tepat saat sulit sekalipun. Dan apakah Anda berpikir bahwa Allah yang mahatahu, mahakuat, dan mahahadir tidak dapat melakukan hal yang sama bagi anak-anak-Nya? Tidak saudaraku, Ia bahkan dapat melakukan hal yang jauh lebih baik dari itu.
            Demikian halnya jika kita menyadari bahwa kita terbatas untuk melihat seluruh jalan kehidupan kita dan hanya Allah yang berada tepat dalam kondisi yang bisa melihat segalanya dalam perspektif yang lebih luas, kita dapat sepenuhnya mempercayai Allah dalam setiap tindakan-Nya bagi kita meski dalam hal paling sulit sekalipun. Karena itu Allah berkata,
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Yesaya 55: 8-9, TB.
            Dan lagi Allah berjanji,
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Yeremia 29:11, TB.
Rencana Allah semata-mata adalah damai sejahtera bagi kita. Rencana Allah semata-mata untuk hari depan kita yang penuh dengan pengharapan. Rancangan Allah semata-mata untuk menyelamatkan kita dari kecelakaan. Masihkah kita ragu dengan apa yang dilakukan-Nya bagi kita?
Saudaraku, marilah! Aku, kamu, dan kita semua jika dalam menghadapi masa-masa sulit, janganlah terburu-buru bertanya kepada Allah, “Mengapa semua ini terjadi padaku?” Tetapi marilah kita bertanya, “Apa yang Engkau ajarkan dari peristiwa ini? Biarlah itu membawaku semakin dekat kepada-Mu!” Jika masih terasa sulit untuk memahami maksud Allah, biarlah hatimu mengucap syukur terlebih dahulu, “Ya Allahku, terima kasih untuk kebaikan-Mu.Di dalam nama Yesus Kristus juruselamatku!” Dan biarkanlah perspektif Allah memenuhi  pengertianmu dalam waktu-Nya yang selalu tepat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar